Sabtu, 14 Desember 2013

Pemuda dan Mimikri Budaya

Pemuda
Pemuda bagi saya sendiri merupakan binari dari akar kata tua dimana merupakan refleksi dari masa depan, tak perlu menunggu berbilang musim berganti tahun pun abad  untuk melihat masa depan bangsa karena masa itu sudah tercermin dari sikap para pemudanya sekarang
Pernah dalam suatu diskusi yang membahas masalah pemuda dan budaya terjadi perdebatan sengit dalam memaknai kata pemuda. Di satu sisi pemuda di ukur berdasarkan perkembangan biologisnya dalam arti usianya, sedangkan di lain sisi pemuda dimaknai sebagi seseorang yang entah masih kecil atau sudah tua tetapi memiliki jiwa muda. Terlepas dari dikotomi makna pemuda, penulis ingin mengikat makna bahwa makna yang digunakan dalam opini ini adalah pemuda dalam arti fisik seperti makna konvensional yang ada.
Dalam sejarahnya di Indonesia, pemuda mempunyai peran yang sangat penting. Bermula dari peran pemuda dengan membuat sumpah pemuda yang menjadikan cikal bakal adanya negara Indonesia. Selain itu pemuda juga dengan gencar melakukan aksi perlawanan terhadap penjajah, meskipun tidak memungkiri ada beberapa kaum tua yang juga berperan memperjuangkan kemerdekaan. Di era Orde Lama, peran pemuda begitu terlihat ketika dengan kekuatannya mampu menggulingkan kekuasaan presiden yang dikira telah melenceng dari Pancasila. Setelah itu, di Rezim Orde Baru pemuda juga mampu mengkudeta kursi empuk yang selama 32 tahun diduduki oleh presiden Soeharto. Rantaian kejadian ini tak ayal menjadikan pemuda senagai sosok harapan bangsa, sebagai sang embrio yang siap pecah telur melanjutkan perjuangan dalam mengisi kemerdekaan.
Namun dalam perkembangannya, seperti cerita novel yang mengalami fluktuasi dalam mencapai klimaksnya. Pemuda inipun terkadang jatuh dalam jurang modernisme dan lupa pada identitas budayanya. Mimikri akan budaya modern mereka lakukan agar tak disebut sebagai anak yang ketinggalan jaman. Tetapi tak bisa dipukul rata pemuda Indonesia seperti itu karena mungkin masih ada segelintir mutiara pemuda yang dengan gigih memperjuangkan identitas budaya agar tak hilang terlindas waktu dan bisa diingat anak cucu.

Budaya
Dalam kamus pribadiku, budaya terdefinisikan sebagai identitas akal budi karena budaya sendiri berasal dari kata ‘’buddhaya’’ yaitu jamak dari kata budi. Sehingga hilangnya budaya menjadikan hilang identitas akal budi manusia untuk diakui.
Bagi kebanyakan orang mungkin budaya akan dimaknai seperti makna  yang pernah di ajarkan dalam mata pelajaran PPKn di Sekolah dasar yaitu sebagai hasil karya, karsa dan cipta manusia. Tetapi bagi Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya menjelaskan bahwa budaya adalah “suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.” Adapun unsur-unsur ini dapat berupa bahasa, pengetahuan, estetika (musik, seni, pakaian, arsitektur), norma, nilai, agama dan lain sebagainya.
Masing-masing bangsa telah memiliki budayanya sendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Karena perbedaan budaya inilah khasanah budaya dunia menjadi kaya. Perbedaan budaya membuat hidup terasa unik meskipun terkadang bisa menimbulkan konflik kalau disalah satu pihak tidak mau memahami perbedaan tersebut.
Menyorot masalah pelaku budaya di Indonesia khususnya para pemuda, sangatlah miris sekali keadannya. Perlahan-lahan modernitas telah menancapkan taringnya pada budaya bangsa untuk melahap semua budaya tradisional yang ada dengan menggantinya menjadi budaya global. Sebagai korbannya adalah para pemuda yang tanpa sadar dihegemoni oleh budaya global melalui media dengan berbagai cara. Peniruan budaya global terjadi di segala bidang mulai bidang bahasa, pendidikan, teknologi, nilai, seni, musik dan gaya hidup. Dalam kajian Poskolonialisme, fenomena peniruan budaya ini memiliki mimikri, sementara  sikap setengah-setengah dalam peniruan bisa dikaji dengan menggunakan teori ambivalensi.

Mimikri
Kalimat mimikri mungkin muncul dalam istilah biologi berupa sikap meniru pada keadaan alam yang dilakukan binatang untuk bertahan hidup, tetapi dalam kajian sastra hal itu berarti peniruan budaya akan bangsa pribumi pada bangsa penjajah
Menurut Homi K. Bhabha ambivalensi adalah sikap copypaste dalam aspek budaya dimana dalam peniruan tersebut tidak berjalan sempurna sehingga memunculkan ambivalensi yaitu dua sisi akan sikap peniruan oleh budaya asing di satu sisi dan sikap pertahanan akan budaya sendiri di lain sisi.
Merunut sejarahnya, aksi peniruan budaya sudah dimulai sejak zaman penjajahan dimana disaat itu banyak pribumi yang berbahasa Belanda, memakai pakaian Belanda dan juga menggunakan pola pikir Belanda. Peniruan ini bersifat negatif dan positif, negatif karena meninggalkan budaya tradisional dan positif karena dengan diserapnya budaya Belanda bisa membantu pribumi untuk melakukan perlawanan yang berujung pada kemerdekaan. Peniruan budaya itu berlanjut dari zaman ke zaman. Sampai pada akhirnya terjadi di zaman globalisasi ini dimana manusia bebas mengakses segala informasi melalui teknologi. Bagaikan katak yang keluar dari tempurung, pemuda Indonesia dihadapkan pada dunia luar tempurung dengan berbagai budaya yang ada. Sebenarnya sah-sah saja mereka meniru budaya luar yang ada dengan satu syarat yaitu menggunakan filter yang tepat.
Mimikri budaya yang dilandasi dengan filter yang tepat inilah yang perlu digaungkan pada para pemuda. Sehingga ketika mereka melakukan peniruan budaya luar, budaya yang menjadi identitas mereka tidaklah lenyap ditelan zaman. Boleh-boleh saja para pemuda menggunakan teori ilmuan barat, menggunakan gaya hidup barat tetapi hal itu haruslah seimbang dengan proteksi sikap budaya yang menjadi identitas bangsa mereka. Bukankah pada hakikatya manusia adalah sama, tak ada yang inferior dan superior. Mengutip kalimat temanku, biarlah timur menjadi timur dan barat menjadi barat, tak perlu terbawa arus hegemoni  untuk terlihat kuat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar