Pemuda
Pemuda bagi
saya sendiri merupakan binari dari akar kata tua dimana merupakan refleksi dari
masa depan, tak perlu menunggu berbilang musim berganti tahun pun abad untuk melihat masa depan bangsa karena masa
itu sudah tercermin dari sikap para pemudanya sekarang
Pernah dalam
suatu diskusi yang membahas masalah pemuda dan budaya terjadi perdebatan sengit
dalam memaknai kata pemuda. Di satu sisi pemuda di ukur berdasarkan
perkembangan biologisnya dalam arti usianya, sedangkan di lain sisi pemuda
dimaknai sebagi seseorang yang entah masih kecil atau sudah tua tetapi memiliki
jiwa muda. Terlepas dari dikotomi makna pemuda, penulis ingin mengikat makna
bahwa makna yang digunakan dalam opini ini adalah pemuda dalam arti fisik
seperti makna konvensional yang ada.
Dalam
sejarahnya di Indonesia, pemuda mempunyai peran yang sangat penting. Bermula dari
peran pemuda dengan membuat sumpah pemuda yang menjadikan cikal bakal adanya
negara Indonesia. Selain itu pemuda juga dengan gencar melakukan aksi
perlawanan terhadap penjajah, meskipun tidak memungkiri ada beberapa kaum tua
yang juga berperan memperjuangkan kemerdekaan. Di era Orde Lama, peran pemuda
begitu terlihat ketika dengan kekuatannya mampu menggulingkan kekuasaan
presiden yang dikira telah melenceng dari Pancasila. Setelah itu, di Rezim Orde
Baru pemuda juga mampu mengkudeta kursi empuk yang selama 32 tahun diduduki
oleh presiden Soeharto. Rantaian kejadian ini tak ayal menjadikan pemuda
senagai sosok harapan bangsa, sebagai sang embrio yang siap pecah telur
melanjutkan perjuangan dalam mengisi kemerdekaan.
Namun dalam
perkembangannya, seperti cerita novel yang mengalami fluktuasi dalam mencapai
klimaksnya. Pemuda inipun terkadang jatuh dalam jurang modernisme dan lupa pada
identitas budayanya. Mimikri akan budaya modern mereka lakukan agar tak disebut
sebagai anak yang ketinggalan jaman. Tetapi tak bisa dipukul rata pemuda
Indonesia seperti itu karena mungkin masih ada segelintir mutiara pemuda yang
dengan gigih memperjuangkan identitas budaya agar tak hilang terlindas waktu
dan bisa diingat anak cucu.
Budaya
Dalam kamus pribadiku, budaya terdefinisikan sebagai identitas akal
budi karena budaya sendiri berasal dari kata ‘’buddhaya’’ yaitu jamak dari kata
budi. Sehingga hilangnya budaya menjadikan hilang identitas akal budi manusia
untuk diakui.
Bagi kebanyakan
orang mungkin budaya akan dimaknai seperti makna yang pernah di ajarkan dalam mata pelajaran
PPKn di Sekolah dasar yaitu sebagai hasil karya, karsa dan cipta manusia. Tetapi
bagi Deddy
Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda
Budaya menjelaskan bahwa budaya adalah
“suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.” Adapun
unsur-unsur ini dapat berupa bahasa, pengetahuan, estetika (musik, seni,
pakaian, arsitektur), norma, nilai, agama dan lain sebagainya.
Masing-masing
bangsa telah memiliki budayanya sendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Karena
perbedaan budaya inilah khasanah budaya dunia menjadi kaya. Perbedaan budaya
membuat hidup terasa unik meskipun terkadang bisa menimbulkan konflik kalau
disalah satu pihak tidak mau memahami perbedaan tersebut.
Menyorot
masalah pelaku budaya di Indonesia khususnya para pemuda, sangatlah miris
sekali keadannya. Perlahan-lahan modernitas telah menancapkan taringnya pada
budaya bangsa untuk melahap semua budaya tradisional yang ada dengan
menggantinya menjadi budaya global. Sebagai korbannya adalah para pemuda yang
tanpa sadar dihegemoni oleh budaya global melalui media dengan berbagai cara. Peniruan
budaya global terjadi di segala bidang mulai bidang bahasa, pendidikan,
teknologi, nilai, seni, musik dan gaya hidup. Dalam kajian Poskolonialisme, fenomena
peniruan budaya ini memiliki mimikri, sementara sikap setengah-setengah dalam peniruan bisa
dikaji dengan menggunakan teori ambivalensi.
Mimikri
Kalimat
mimikri mungkin muncul dalam istilah biologi berupa sikap meniru pada keadaan
alam yang dilakukan binatang untuk bertahan hidup, tetapi dalam kajian sastra
hal itu berarti peniruan budaya akan bangsa pribumi pada bangsa penjajah
Menurut Homi K.
Bhabha ambivalensi adalah sikap copypaste
dalam aspek budaya dimana dalam peniruan tersebut tidak
berjalan sempurna sehingga memunculkan ambivalensi yaitu dua sisi akan sikap
peniruan oleh budaya asing di satu sisi dan sikap pertahanan akan budaya
sendiri di lain sisi.
Merunut sejarahnya,
aksi peniruan budaya sudah dimulai sejak zaman penjajahan dimana disaat itu
banyak pribumi yang berbahasa Belanda, memakai pakaian Belanda dan juga
menggunakan pola pikir Belanda. Peniruan ini bersifat negatif dan positif, negatif
karena meninggalkan budaya tradisional dan positif karena dengan diserapnya
budaya Belanda bisa membantu pribumi untuk melakukan perlawanan yang berujung
pada kemerdekaan. Peniruan budaya itu berlanjut dari zaman ke zaman. Sampai pada
akhirnya terjadi di zaman globalisasi ini dimana manusia bebas mengakses segala
informasi melalui teknologi. Bagaikan katak yang keluar dari tempurung, pemuda
Indonesia dihadapkan pada dunia luar tempurung dengan berbagai budaya yang ada.
Sebenarnya sah-sah saja mereka meniru budaya luar yang ada dengan satu syarat
yaitu menggunakan filter yang tepat.
Mimikri budaya
yang dilandasi dengan filter yang tepat inilah yang perlu digaungkan pada para
pemuda. Sehingga ketika mereka melakukan peniruan budaya luar, budaya yang
menjadi identitas mereka tidaklah lenyap ditelan zaman. Boleh-boleh saja para
pemuda menggunakan teori ilmuan barat, menggunakan gaya hidup barat tetapi hal
itu haruslah seimbang dengan proteksi sikap budaya yang menjadi identitas
bangsa mereka. Bukankah pada hakikatya manusia adalah sama, tak ada yang
inferior dan superior. Mengutip kalimat temanku, biarlah timur menjadi timur dan
barat menjadi barat, tak perlu terbawa arus hegemoni untuk terlihat kuat.