Senin, 25 November 2013

Mandiri


Ku awali pagi ini dengan hal yang tidak indah karena selepas tasyakuran wisuda temanku tadi malam dengan makan-makan sate, aku tidur sampai pulasnya. Matahari yang dengan gagah memancarkan sinarnya tak begitu berarti bagiku karena kalah dengan kehangatan selimut dan bantal yang menemaniku. Alhasil, bangun tak pada waktunya itulah yang membuatku harus menjalani solat Subha (Subuh dan Dhuha).
Selepas menjalankan ibadah, diriku dikagetkan oleh datangnya mangga dari teman yang datang dari kampung. Dengan lahapnya kumakan mangga itu sambil menonton acara TV.  Terbersit olehku tuk menengok skripsi yang mangkrak di laptop. Pelan tapi pasti ku kerjakan sedikit demi sedikit sampai dapat 600 karakter dalam dua halaman. Setelah kurasa cukup, meskipun aku menargetkan sehari harus bisa menulis empat lembar, kulanjutkan dengan membuka-buka facebook dan blog. Eh, malah keterusan, jadi deh yang seharusnya aku bisa menambah selembar dua lembar menjadi pupus.
Teringat olehku ada janji jam dua untuk menghadap dosen pembimbing dua, ku sms beliau agar tak lupa utuk menemuiku. Dan benar yang terjadi di kampus, pembimbing duaku telah berada di mejanya. Mula-mula dia minta buku pegangan ku terkait teori poskolonialisme, setelah itu dikritiklah aku habis-habisan karena banyak yang salah. Ternyata kesalahanku banyak di hal-hal tentang pengambilan sumber, tentang quote langsung maupun tak langsung, tentang paraphrase atau copy paste. Kesalahan yang dipaparkan oleh pembimbing dua kuterima dengan sepenuh hati , malahan aku berterimakasih karena telah diberitahu bahwa aku salah daripada ketika sempro baru diingatkan seperti  beberapa temanku. Sepulang bimbingan kuputuskan untuk kembali ke kontrakan karena kengen dengan mangga yang ada.
Menginjak sore, kudapat sms dari sahabat kerjaku tuk libur dulu dikarenakan cuaca yang tidak mendukung, SDM yang kurang, dan kulalitas SDM yang ada tak memadai. Kesempatan libur ini kugunakan untuk membaca buku Nagasasra dan Sabuk Inten yang isinya menceritakan tengang Mahesa Jenar  yang berjuang karena keyakinanya untuk berbuat menolong manusia mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa melawan golongan hitam semacam Pasingsingan, Sima Rodra, Naga Pasa dan Bugel Kaliki yang meresahkan warga Banyu Biru khusunya, dan Kerajaaan Depak pada umumnya.
Menjelang magrib, terlintas dibenakku untuk pergi ke perpustakaan. Tapi melihat diluar masih hujan aku mengurungkan niatku, sampai kejadian yang tak kuduga datang menimpaku. Tak perlu kuciritakan dengan jelas, kejadian ini membuatku menjadi lebih yakin bahwa sudah sepantasnya laki-laki harus mandiri. Mandiri dalam segala hal seperti yang pernah di katakan Bung Karno tentang Trisakti, Berdaulat dalam politik, Berdikari dalam ekonomi dan Berkepribadian dalam budaya. Baru beberapa hari kata-kata itu digaungkan oleh Surya Paloh yang mengaku sebagai Sukarnois sewaktu aku melihatnya dalam acara Forum Rektor  Jatim di Widyaloka. Dan benar, kemandirian itu haruslah dipupuk sejak dini sehingga bisa membuat kita bermental kuat.


               Gb. 1 Bung Karno dengan semangat berkobar-kobar berpidato tentang konsep Trisakti

3 komentar: